MEMBERI UNTUK MEMBELI

Posted on
  • Rabu, 25 Juli 2012
  • by
  • doulospusat
  • in

  • Memberi dan membeli adalah dua kata, dengan dua makna yang sangat berbeda, sekalipun ada dalam tindakan yang sama, yaitu, sama-sama mengeluarkan dana. Memberi, berarti ada pengeluaran dana, namun tanpa menerima apapun juga. Memberi harus tanpa pamrih, artinya bersih motivasi. Maklum, memberi selalu dibayangi semangat untuk terpuji. Memang tak mudah memberi tanpa pamrih, itu menuntut keluhuran budi. Tapi harus diingat, memberi seperti itulah yang Tuhan kehendaki. Ingat janda miskin dalam cerita Injil (Lukas 21:1-4), dia memberi tanpa memperhitungkan diri, dan banyak orang pasti meremehkan pemberiannya. Maklum, secara kuantitas berapalah yang bisa diberikan oleh seorang janda yang miskin. Namun Yesus, memandang dengan cara yang berbeda, Dia melihat jauh kedalam lubuk hati si janda, motivasi yang murni, rasa syukur yang besar. Jumlah kecil 2 peser yang diberi janda miskin itu menjadi besar secara kualiti, dan tentu saja, juga sangat besar dalam jumlah bagi sang janda yang miskin. Sementara membeli, mengeluarkan dana untuk mendapatkan sesuatu. Apapun sesuatu itu, yang pasti, ini transaksi. Membeli bisa untuk kepentingan diri, atau bahkan hanya sekedar pemuas nafsu diri, yang seringkali bisa jadi tidak terkendali. Membeli, bagi beberapa orang bahkan bisa jadi “hobi”. Konsumerisme, penyakit membeli yang sangat menakutkan. Mengkonsumsi apa saja yang ditawarkan, sekalipun seringkali tidak dibutuhkan. Membeli yang dipajang, bukan karena kebutuhan, melainkan sekedar menyenangkan mata yang tidak pernah puas. Atau, yang lebih menyakitkan membeli dengan memaksa diri, hanya untuk sebuah gengsi yang tak berarti. Di Amerika, negara paman Sam yang terkenal dan maju itu, ternyata banyak pembelanja yang terjerat hutang. Tanpa perhitungan yang matang, sangat mudah mereka mengesek kartu kredit nya, yang dengan segera menjadi kartu macet. Tak jarang hal itu menjadi awal pertikaian yang berkahir dengan perceraian. Resiko membeli hanya sekedar kepuasan diri bukan kebutuhan utuh. Nah, bagaimana dengan memberi untuk membeli. Ini adalah sebuah fenomena menarik yang selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. Bisa politis, tapi juga rohani, dan yang terakhir ini yang bahaya. Politis? Ya, untuk ini kita sering mendengar istilah money politic. Memberi kepada rakyat miskin, seakan peduli dan penuh perhatian, namun sejatinya, yang mereka harapkan adalah simpati dari rakyat untuk berbaris menjadi pemilih mereka. Sebuah pembodohan yang mengerikan, karena memanfaatkan kemiskinan untuk mendulang keuntungan. Sementara disisi lain, rakyat miskin perlu uang untuk menyambung jalannya kehidupan. Kondisi yang seharusnya disimpati, dibantu tanpa pamrih, ternyata justru dimanfaatkan, ya kemiskinannya, ya ketidaktahuannya, ya keluguannya. Siapa yang memanfaatkannya? Ya mereka yang kaya, ya yang tahu alias berpendidikan, dan sekaligus, ya mereka yang licik dan munafik. Bagi mereka segala cara adalah sah. Memberi untuk membeli menjadi alat ampuh, mendapat keuntungan ganda. Untung dari sipenerima yang tertipu, untung juga dari rasa terimaksih penerima yang memilih bahkan menyangjung mereka dengan sebutan “tuan baik”. Menarik sekali ketika Alkitab berkata; jika engkau memberi sedekah janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu (Matius 6:3). Alkitab melarang bukan saja mengambil keuntungan nilai (uang, suara, dll), bahkan kemegahan diri, juga dibenci. Jika memberi, cukuplah dengan memberi, tanpa embel-embel lain. Memberilah dengan ucapan syukur karena telah menerima dari Tuhan, dan diberi kesempatan oleh Tuhan untuk memberi kepada mereka yang membutuhkan. Alangkah luhurnya memberi jika yang memberi menyadari nilai memberi itu sendiri. Kisah tragis memberi telah menimpa Ananias dan Safira (Kisah 5:1-11). Pasangan suami istri yang sehati untuk memberi sekaligus berdusta atas pemberiannya. Mereka memberi dengan harapan tercatat orang yang rohani. Untuk tampak penuh rohani mereka mengaku memberi seluruh miliknya, padahal menahan separuhnya. Ya, tampak sangat rohani ketika memberi, namun saat bersamaan sangat busuk didalam hatinya. Orang yang baik itu, ternyata hanya tampaknya baik, namun penuh dengan selubung-selubung motivasi yang tersembunyi. Ananias memberi untuk pekerjaan rohani dengan hati yang dikuasai iblis. Ironis! Upah “pemberiannya” Tuhan mencabut nyawanya. Padahal nama Ananias bentuk Yunani, Ibraninya Hananya berarti; Tuhan telah mengampuni. Tragis! Belum usai kekagetan banyak orang, istrinya menyusul dengan kisah dusta yang sama. Soal berdusta, keduanya seia sekata, bekerjasama dengan luar biasa. Hasilnya juga sama, Safira harus digotong kepekuburan sebagai upah persekongkolannya. Sulit melukiskan “kemalangan” pasangan ini. Saat itu ketakutan melanda banyak orang. Namun dalam perguliran waktu, kematian tak selalu mengikuti dusta para “pencuri rohani”. Ini yang lebih menakutkan, karena tampaknya Tuhan membiarkan pemberi model ini “sukses”. Kesuksesan demi kesuksesan membuat mereka terlena, dan ketrika terjaga ternyata mereka telah berhadapan dengan Sang Suci dipengadilan suci yang tak ada manipulasi. Pengadilan di kekekalan. Tak lagi ada kesempatan untuk pengakuan, kecuali hukuman atas kesuksesan yang telah meraka raih dimuka bumi, yakni “memberi untuk membeli”. Fenomena pemberian terselubung, telah melahirkan saingan yang didunia kejahatan yang dikenal dengan istilah money laundry, maka dalam dunia rohani terlahir dengan nama sin laundry model Ananias. Ini lebih ngeri. Didunia jahat, berbuat jahat adalah kelaziman. Tapi didunia rohani, sungguh menyedihkan. Dikekinian kehidupan, terasa semakin tipis beda benar dan salah. Bisnis dirohanikan, rohani dibisniskan. Bisnis dirohanikan, berslogan menegakkan kebenaran, dan semuanya untuk pelayanan, untuk kemuliaan Tuhan. Namun dikenyataan, semua hanya untuk keuntungan diri, memperkaya diri, dan lebih gila lagi menghalalkan segala cara. Memperjual belikan kata memberi untuk membeli, meraup keuntungan. Bisnis itu sah, tapi merohanikan untuk mempermudah meraup keuntungan, ini yang masalah. Keuntungan itu sah, tapi jangan dimanipulasi bukan untuk saya, padahal, ya, untuk saya. Memberi untuk membeli, melayani untuk menyiasati keuntungan. Disisi lain ada rohani yang dibisniskan. Menolong orang miskin, adalah niat yang luhur. Berita ditebar, banyak orang digugah, uang terkumpul. Namun hasil akhir, simiskin tetap miskin, sementara yang mengumpulkan bertambah kaya. Aneh bukan, orang yang katanya berjiwa besar mengumpulkan dana untuk orang miskin, justru menjadi kaya setelah mengurus orang miskin yang tetap miskin. Ya, nurani semakin miskin, rasa akan takut Tahun dimanipulasi, karena yang ada hanyalah takut tak berduit. Ada koruptor melakukan sin laundry, dan ada rohaniawan yang menjalankannya. Sikoruptor di korupsi, bukan dia tak tahu bahkan cenderung tak mau tahu, bahkan seringkali sama-sama tahu. Yang penting sikoruptor merasa bersih karena telah memberi, sementara sirohaniawan sukses menumpuk materi yang diberi judul berkat Tuhan. Sebuah kerjasama menarik dan apik, model Ananias dan Safira. Tidakkah kita bisa belajar, memberi untuk memberi karena Tuhan telah memberi. Atau membeli untuk membeli karena ada kebutuhan inti. Jangan pernah memberi untuk membeli, apalagi sampai sukses besar. Semoga hati nurani masih tersisa untuk menyala, menyinari kehidupan yang semakin gelap ini. Selamat memberi yang hanya memberi.

    0 komentar:

    Posting Komentar

     
    Copyright (c) 2012 Modified By: Yunus