Kebebasan, sebuah Paradoks

Posted on
  • Rabu, 25 Juli 2012
  • by
  • doulospusat
  • in

  • Apa kebebasan itu? Tampaknya, mudah menjawab pertanyaan yang satu ini. Secara telanjang, kebebasan dapat dikatakan ketika aku bebas melakukan apa saja yang aku inginkan. Tidak terikat pada sebuah aturan apapun. Jika ini wujud kebebasan betapa mengerikan. Karena dengan segera manusia berubah nilai, dari yang manusiawi menjadi sangat binatang. Betapa tidak! Yang bebas, sebebas bebasnya, tanpa aturan atau keterikatan, hanyalah binatang. Itu sebab, dalam hukum rimba yang kuat yang menang, yang kuat dialah hukum, dialah kebebasan. Tapi, ternyata, sang binatangpun tidak dapat bebas sebebas bebasnya. Jika ia singa, maka singa tak boleh berada dikota jika tidak ingin ditembus timah panas. Atau, dilaut bebas seperti ikan, jika tidak ingin ditelan amuk ombak. Ternyata, singa yang kuat itu tak kuat disemua medan. Tak bebas, sebebas bebasnya. Singat terikat pada keterbatasan yang menempel ketat pada dirinya. Keterikatan seumur hidupnya. Singa hanya bebas jika maut menjemputnya. Namun, saat itupun singa menghadapi episode yang tak dikuasainya. Kematian, bukan hutan tempat singa berkuasa, juga bukan kota, tempat singan terancam. Ah, ternyata, binatangpun tidak bisa bebas, sebebas bebasnya. Lalu, manusia, bagaiman dengannya? Paul Riceour, seorang filsuf Prancis pernah berkata, bahwa kebebasan sejati adalah sebuah keputusan yang pribadi dan berdikari, didasari oleh pemahaman yang pribadi dan berdikari. Semua itu harus melewati jalan yang disebut Omnibus bene perpenis (setelah mempertimbangkan semua dengan matang). Semakin banyak filsuf, pasti semakin banyak defenisi yang kita dapatkan. Sayang, ruang ini terlalu sempit untuk menghadirkan lebih banyak pendapat, sekalipun itu bisa lebih memperkaya. Kembali kepada Riceor, dalam membuat sebuah keputusan menurutnya diperlukan perhatian. Contoh, untuk memilih sebuah pekerjaan baru. Secara finacial; menguntungkan, namun secara kesehatan; membahayakan. Maka, setelah melewati sebuah pertimbangan, didapatlah keputusan. Nah, keputusan itulah yang dianggap sebagai yang pribadi dan berdikari. Jika dicermati, maka apa yang dikatakan Riceor sebagai sebuah keputusan pribadi dan berdikari, adalah sebuah kemampuan intelektual. Jadi, keputusan pribadi dan berdikari itu lebih berkaitan dengan kemampuan intelektual dibandingkan kebebasan. Bukankah intelektual itu sendiri sebuah “kandang emas” dibanding benih kebebasan. Intlektual yang selalu terikat pada pendapat umum, sementara kebebasan seharusnya terikat pada diri seseorang, entah dia tinggi intlek atau tidak. Apakah orang rendah intelek tidak bebas? Semakin dalam digali, maka kita akan tiba pada circulus vitiosus (lingkaran setan) yang tidak kinjung usai. Semakin kebebasan itu diusahakan bebas, justru kebebasan itu semakin tampak terikat. Kebebabasan, hanyalah sebuah kebebasan yang situasional. Usai kerja, anda bebas dari waktu kantor. Di ruang AC, anda bebas dari asap rokok, dan seterusnya. Bebas, terikat pada situasi dan peraturan yang ada. Kebebasan sejati adalah sebuah paradoks yang absolut. Kebebasan sejati, ada dalam keterikatan/keterbatasan (Kejadian 2:16-17). Di Taman Eden, Adam sangat bebas, namun dia bebas selama dia taat pada keterbatasan yang ada. Disana, ada ketentuan hukum yang harus ditaatinya, yang mengikatnya. Di keterikatan itu Adam bebas, dia hidup sebagai manusia merdeka. Adam bagaikan ikan dilaut lepas, bebas selama dilaut, namun akan kehilangan kebebasannya, apabila ikan salah memakai kebebasan yang ada, dan memaksakan kehendak bebasnya dengan melompat kedarat. Saat ikan membuat keputusan dalam kebebasannya untuk melintasi keterbatasannya, maka, berakhirlah kebebasan yang dimilikinya. Begitu pula dengan Adam. Kebebasan, bukanlah kemampuan intelektual dalam membuat keputusan, karena inteluktual itu sendiri harus tunduk pada hukum yang ada tentang kebebasan. Kebebasan sejati, adalah ketika intelektual dipakai untuk untuk mengerti dan mentaati keterikatan, dalam mempertahankan kebebasan, dan bukan membuat keputusan untuk mencipta kebebebasan. Kebebasan itu sudah ada pada diri mnanusia sebagai ciptaan yang segambar dan serupa dengan Allah. Namun kini, persoalan kebebasan tidak sesederhana itu lagi, karena manusia telah jatuh kedalam dosa. Perjuangan untuk hidup dalam kebebasan sejati semakin berat, dan mengalami kontaminasi hebat, dari polusi dunia yang berdosa. Itu sebab, realita ini menjadi tuntutan besar bagi setiap orang percaya untuk merumuskannya dengan jelas apa itu kebebasan sejati, dan tidak terjebak pada tataran teori belaka. Paulus, sebagai Rasul Tuhan, menggambarkan hal itu dalam ungkapannya yang sangat filosofis, didalam Roma 7:15; Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang kukehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Tampaknya Paulus terpenjara, tak berdaya menggapai kebebasan, dalam membuat sebuah keputusan yang diinginkannya. Dia dikekang, dan dipaksa, membuat keputusan yang dibencinya. Gambaran jujur yang tajam tentang situasi hidup orang berdosa. Namun, segera kita akan mendengar gema kemenangan, kemerdekaan, kebebasan yang sejati dalam Roma 8:1-17; Orang percaya tidak lagi diperbudak dosa, melainkan hidup merdeka dalam kasih karunia Kristus. Dalam Injil, Yesus berkata : Pikullah kuk yang kupasang karena enak dan beban yang kuberi karena ringan (Matius 11:29-30). Dimanakah ada kuk (baca; perintah) dan beban itu enak? Dimanakah terikat itu merdeka? Hanya satu didalam Yesus Kristus.
    TIGA LANGKAH MENUJU JALAN KEBEBASAN
    Kata Nya kepada mereka semua : “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku”, (Lukas 9:23). Ini adalah perkataan agung yang diucapkan Yesus. Bukan saja kata yang sarat makna, tapi juga kata yang penuh kuasa. Namun, dalam perspektif manusia daging segera protes meluncur deras, karena yang tampak adalah peniadaan hak. Dan, peniadaan hak setali tiga uang dengan pelucutan kebebasan. Ya, kebebasan, yang menjadi idola manusia modern, sekaligus kebebasan yang juga mencipta banyak permasalahan. Kebebasan yang bisa jadi menghapus garis batas moral, sehingga yang amoralpun dianggap sah, bebas. Sementara, disisi lain juga bisa jadi tindakan anarkis, ketika simayoritas merasa bebas melakukan apa saja terhadap yang minoritas. Ya, kebebasan bisa jadi sosok menakutkan bahkan mematikan. Tapi,tanpa kebebasan apa jadinya manusia? Nah, kalau begini, yang jadi masalah bukanlah kebebasan itu, tapi defenisi yang dikenakan kepadanya. Namun, masalahpun tak segera usai, karena sekarang pertanyaannya adalah siapa yang berhak memberi defenisi? Mungkin anda segera menebak dengan tepat berdasarkan ayat diatas. Yesus, karena memang ucapan diatas adalah perkataan Nya. Tapi tetap tersisa tanya, mengapa harus Yesus yang tepat memberi definisi? Sederhana saja, karena rasanya, tidak ada yang lebih tepat dari DIA, yang bermoral tinggi karena tidak mengenal dosa, apalagi hidup didalamnya. Hidup dalam kebenaran, bahkan hingga dikematian Nya dikayu salib. Dikhianati namun tak membenci, dizalimi namun memberkati. Dia yang penuh kasih tanpa pernah berlaku diskriminasi. Dia, yang sangat menikmati hidup dan bahkan berkata Dia sendirilah hidup itu (roti hidup, air hidup). Dan, yang lebih pas lagi dalam konteks kebebasan, karena Dia lah kebebasan sejati. Didalam Dia kita merdeka. Bebas, bukan saja dihidup ini, bahkan bebas dari kuasa dosa hingga “kehidupan nanti”. Nah, anda ingin kebebasan yang sejati. Tiga langkah penting untuk mendapatkannya.
    1. Penyangkalan diri.
    Jika diselusuri dalam kejujuran yang penuh, maka nyatalah pusat kekisruhan menterjemahkan kebebasan adalah diri itu sendiri. Diri manusia yang telah dikuasai virus dosa, yang hanya mampu menangkap bayang bayang kebebasan, namun kehilangan makna aslinya. Dosa yang telah mengacaukan sistim nilai yang benar. Tak heran jika muncul sejuta defenisi, dari yang mirip hingga tak mirip sama sekali. Jadi, penyangkalan diri merupakan tahap awal manusia memasuki wilayah kebebasan. Menyangkal diri berarti, tak lagi membuat diri pusat, juga berarti dengan rela “melepas hak”. Penyangkalan diri, meniadakan diri, maka yang ada hanya DIA, Tuhan yang hidup, yang menguasai diri dan memberi nilai. Manusia yang menyangkal diri, menemukan nilai baru yang sejati karena bersumber dari yang Illahi. Penyangkalan diri yang bukan menyiksa diri atau mematikan kehendak. Orang yang menyangkal diri tetap berkehendak, namun kehendak yang baru, yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Disini, manusia memasuki dan menikmati nilai baru yang tepat arah. Di penyangkalan diri, ditemukan kebebasan yang sejati, bukan produk diri, tapi anugerah dari yang Illahi.
    2. Memikul Salib.
    Salib, (Inggris Cross), berasal dari kata (Latin Crux), yang bermakna krusial, penting. Salib, itu berarti sangat sangat penting. Penting, dalam segala aspek kehidupan kristiani. Khotbah dibukit dengan tepat melukiskan kenikmatan salib. Berbahagialah orang yang dianiaya karena kebenaran. Bagaimana mungkin? Nah, disinilah letak keunggulan salib. Memikul salib bukanlah penderitaan karena penindasan, melainkan kebahagiaan karena kebenaran. Dan, kebahagiaan itu (Yunani; makarios) bentuknya present, sekarang saat mengalami aniaya. Disini ada kebebasan sejati. Dalam memikul salib, aniaya tak lagi mampu menyakiti orang benar. Orang yang benar didalam Kristus telah merdeka dari tekanan apapun, dan kuat menanggung apapun. Mereka telah bebas dari katakutan hidup, karena bebas dari dosa yang mencipta teror didalam kehidupan. Salib jadi kehormatan yang mendemonstrasikan nilai kebebasan sejati didalam hidup. Bayangkan, betapa hebat dan luasnya kebebasan yang ada. Namun ingat, orang benar tak bebas untuk berbuat dosa. Orang yang berbuat dosa hanyalah tawanan tanpa daya untuk menolak kehendak setan. Mereka tidak bebas, tidak merdeka, hanya budak. Wilayah kebebasan orang benar ada dalam kebenaran, merdeka dari teror dosa, dalam bentuk apapun. Jadi, jangan lari dari salib karena saliblah jalan kebebasan sejati. Dijalan salib manusia merdeka.
    3. Mengikut Yesus
    Akhirnya, bentangan luas wilayah kebebasan yang tidak bertepi terhampar bagi orang benar, untuk hidup benar, merdeka dari ketakutan, bahkan dibalik kehidupan. Mengikut Yesus, disitulah, dan itulah, kebebasan sejati. Bebas yang tidak bebas (baca,terbatas) adalah kesejatian kebebasan manusia yang terbatas. Namun sekali lagi awas, didalam Kristuslah wilayah kebebasan, sementara wilayah perbudakan ada pada setan. Mengikut Yesus itulah jalan kebebasan, sementara setan hanya menawarkan kebebasan yang penuh kepalsuan. Kepalsuan yang akan menelan orang yang tidak hidup dalam kebenaran. Kepalsuan, dimana perbudakan berasesoriskan kemerdekaan. Salah memilih anda akan tersesat diwilayah perbudakan, sementara tepat memilih sungguh sebuah mutiara kasih karunia.
    Selamat datang diwilayah kebebasan sejati.
    Kata ini tepat, untuk orang tepat, yang memilih tepat, diwaktu yang tepat, jalan mana yang tepat, menuju kebebasan sejati. “Selamat bebas”.

    0 komentar:

    Posting Komentar

     
    Copyright (c) 2012 Modified By: Yunus