IMAN YANG BENAR

Posted on
  • Rabu, 25 Juli 2012
  • by
  • doulospusat
  • in

  • Dalam PL, bahasa Ibrani untuk iman adalah emunah yang berarti kesetiaan, atau batakh yang berarti percaya. Sementara dalam PB, bahasa Yunani yang dipakai adalah pisteuo yang juga berarti kesetiaan. Muncul ratusan kali dalam bentuk kata benda, kata sifat dan kata kerja. Dari sudut bahasa, dengan segera akan tampak jelas semangat dari iman itu sendiri. Sebuah sikap percaya, tanpa sedikitpun keraguaan, kepada Allah pencipta semesta. Sementara kesetiaan melukiskan menyatunya kata dan sikap kepada Tuhan, setia tanpa limit. Kata percayalah kepada Tuhan Allah mu, sangat dominan dalam PL. Sementara hardikan Yesus kepada murid-murid Nya, berapa lama lagi kamu percaya, hai yang kurang percaya, mewarnai kitab Injil. Iman yang benar hanya percaya kepada satu Allah, tak bercabang kepada illah-illah. Ketika Musa menerima 10 hukum Taurat yang sangat terkenal itu, maka dengan segera tampak sangat menonjol nuansa beriman disana. Dibuka dengan tekanan yang kuat Akulah TUHAN Allahmu (penggabungan nama Yahweh Elohim, menunjukkan kedaulatan Sang Pencipta, yang berjanji dan berkuasa), lalu diikuti dengan tuntutan yang serius. TUHAN tak rela jika umat membuat patung sebagai illah-illah bagi diri mereka (Keluaran 20:3-7) . Jika ingin beriman sungguh, mereka digugat untuk taat dan beribadah hanya kepada TUHAN Allah saja. Separuh dari 10 hukum mengatur hubungan beriman yang benar, sikap umat kepada TUHAN Allah, apa yang tidak boleh tampak jelas dan sangat detail. Lalu, jika mundur kebelakang, ketaman Eden, juga akan tampak terang mengapa Adam jatuh kedalam dosa. Tergiur oleh godaan kekuasaan untuk menjadi sama seperti Allah, Hawa tak berpikir panjang untuk membuat sebuah pilihan. Pilihan salah, sependapat dengan setan, untuk mencobai Tuhan yang mulai diragukan sebagai menyimpan rahasia terhadap diri. Tuhan dipandang sebagai tak patut untuk dipercaya sepenuhnya, Tuhan layak dicurigai. Sikap tak beriman itu menguat muncul kepermukaan. Seharusnya Hawa percaya sepenuhnya kepada TUHAN Allah, tak boleh meragukan Nya, apalagi menghianati Nya. Namun atas nama kekuasaan, persamaan hak, bahkan menyamai Allah sepenuhnya, Hawa meragukan Allah, tidak percaya dan tentu saja menjadi tidak setia. Disisi lain, Adam setali tiga uang dengan Hawa. Pura-pura tak tahu, tidak mau tahu, Adam memanfaatkan tawaran Hawa. Seakan sekedar mengikuti tawaran Hawa, Adam sejatinya melepaskan diri dari tanggungjawab sebagai pemimpin yang membuat keputusan. Adam juga meragukan Allah. Tidak percaya, tidak setia, mendominasi pemberontakan di taman Eden. Tidak beriman kepada TUHAN Allah, itu yang terjadi, sehingga sukses pada pihak setan. Ya, beriman yang benar kepada Tuhan adalah kemenangan sejati, sementara meragukan Nya adalah sebuah dosa yang mengerikan. Kurang percaya, tidak beriman, dan, tentu saja tidak setia kepada Allah, itulah tragedi taman Eden yang harus dibayar mahal oleh Yesus Kristus. Manusia tak pernah mungkin untuk membayarnya. Ketidak berimanan telah menjadi malapetaka yang tidak terselesaikan, dan titik kehancuran kemanusiaan yang menjadi kerusakan tak terperbaiki. Dari taman Eden, kita meluncur ke taman Getsemani. Peristiwa terbalik akan segera tampak nyata, senyata mata memandang raga. Disana, dipergumulan yang mencekam, dikesendirian karena yang lain terlalu sibuk dengan keasyikan diri. Keringat bagai darah yang mengalir kencang, padahal hawa malam terasa dingin, dan sangat menggoda tubuh untuk rebah dan lelap. Disituasi itulah Yesus Kristus bergumul atas pilihan; setia atau tidak setia, pada tugas yang diemban Nya. Diatas berbagai argumentasi yang kuat, Yesus tak membuat pilihan yang menguntungkan diri, melainkan sikap beriman sepenuhnya kepaqda Bapa disurga. DIA harus menyelesaikan semuanya, sekalipun nyawa tak bersalah, tak berdosa, yang menjadi taruhannya. Yesus setia, ekspresi iman yang luar biasa. Dalam keberiman yang benar, dikembalikannya segala keputusan pada ketetapan Allah Bapa. Iman yang benar membawa Yesus menyelesaikan semuanya diatas kayu salib. Sudah selesai, itulah buah iman yang tampak nyata. Sebuah pengorbanan yang mungkin, hanya karena iman yang benar. Taman Getsemani adalah gema kemenangan, sementara Golgota, menjadi tempat pembuktian. Tapi taman Eden menjadi bukti kegagalan, kehancuran, karena ketidak berimanan. Iman yang benar bukanlah sebuah kemustahilan, bahkan keharusan yang dimiliki umat yang percaya. Iman yang benar sudah seharusnya mendominasi setiap pilihan dan tindakan orang percaya. Taman Eden dan taman Getsemani adalah sebuah kontras dalam keberimanan. Dikeseharian kehidupan dunia masa kini, yang semakin menggila dalam haus kekuasaan dan kepuasaan yang tak bertepi, umat dituntut hati-hati. Keberanian bersikap, tak gila kuasa, apalagi dahaga kepuasaan diri, perlu diterapkan dalam disiplin yang tinggi. Kuasa masih tetap menggoda, banyak orang terjebak disana, termasuk petinggi agama. Demi kursi kekuasaan yang lebih empuk dan besar, kependetaan bahkan seringkali dikorbankan. Arena politik kini jadi trend keterlibatan para pendeta, dan batas batas pilihan etis semakin menipis. Sementara dari sisi aktivis, uang dipakai jadi alat “menguasai gereja”. Siapa yang banyak uangnya boleh banyak bicaranya, bahkan banyak mengatur gereja. Belum lagi “nyanyian kepuasan diri” yang tak pernah usai. Kehidupan ala selebritis terus semakin menjadi atas nama berkat Illahi. Masihkah akan ditemui iman yang benar dimuka bumi ini? Sebuah tanya serius yang sangat menggugat. Tapi satu yang pasti, iman yang benar pasti melahirkan buah yang benar. Buah yang mungkin dan mudah dikenali, terukur dan teruji. Kamu adalah garam dan terang dunia, itu kata Yesus. Semoga dipenghujung jaman ini iman yang benar semakin muncul kepermukaan, mewarnai dunia. Semangat taman Getsemani seharusnya subur dikehidupan umat. Semangat untuk percaya dan setia pada perintah-perintah Allah. Sehingga sekalipun tiupan godaan menerpa dengan keras umat tetap mampu bertahan. Namun awas, jangan terjebak pada debat kusir yang miskin aksi. Tapi mari beraksi dengan iman yang sehat. Jika kemiskinan tak kunjung menurun, jika tangisan tak berkurang, jika iri hati meninggi, dan pertikaian semakin nyata. Jika kegilaan pada kekuasaan tak terkendali, jika intan permata jadi harga diri, jika kepongahan mewarnai hari-hari kehidupan, bisakah dikatakan iman yang benar itu hidup, dan terus menggeliat? Ahh……tampaknya umat harus selalu bercermin pada kenyataan, agar tak sekedar berteriak kami beriman. Apalagi karena sekedar sebuah kesembuhan, dan menempatkan diri sebagai agen Tuhan. Ingat Matius 7:21-23, melakukan kehendak Tuhan tak akan tertolak, melakukan mujijat banyak yang tak diterima Tuhan Yesus, bahkan disebut penjahat. Semoga anda dan saya tak dihardik karena beriman salah, tapi sebaliknya, kita disanbut dalam kehangatn kasih surga karena beriman yang benar. Selamat jujur menilai diri, selamat berani bercermin pada kebenaran Illahi. Anda adalah pemenang karena beriman yang benar.

    0 komentar:

    Posting Komentar

     
    Copyright (c) 2012 Modified By: Yunus