
Dalam PL, bahasa Ibrani untuk iman adalah emunah yang berarti
kesetiaan, atau batakh yang berarti percaya. Sementara dalam PB, bahasa
Yunani yang dipakai adalah pisteuo yang juga berarti kesetiaan. Muncul
ratusan kali dalam bentuk kata benda, kata sifat dan kata kerja. Dari
sudut bahasa, dengan segera akan tampak jelas semangat dari iman itu
sendiri.
Sebuah sikap percaya, tanpa
sedikitpun keraguaan, kepada Allah pencipta semesta. Sementara kesetiaan
melukiskan menyatunya kata dan sikap kepada Tuhan, setia tanpa limit.
Kata percayalah kepada Tuhan Allah mu, sangat dominan dalam PL.
Sementara hardikan Yesus kepada murid-mu
rid Nya, berapa lama lagi kamu
percaya, hai yang kurang percaya, mewarnai kitab Injil. Iman yang benar
hanya percaya kepada satu Allah, tak bercabang kepada illah-illah.
Ketika Musa menerima 10 hukum Taurat yang sangat terkenal itu, maka
dengan segera tampak sangat menonjol nuansa beriman disana. Dibuka
dengan tekanan yang kuat Akulah TUHAN Allahmu (penggabungan nama Yahweh
Elohim, menunjukkan kedaulatan Sang Pencipta, yang berjanji dan
berkuasa), lalu diikuti dengan tuntutan yang serius. TUHAN tak rela jika
umat membuat patung sebagai illah-illah bagi diri mereka (Keluaran
20:3-7) . Jika ingin beriman sungguh, mereka digugat untuk taat dan
beribadah hanya kepada TUHAN Allah saja. Separuh dari 10 hukum mengatur
hubungan beriman yang benar, sikap umat kepada TUHAN Allah, apa yang
tidak boleh tampak jelas dan sangat detail. Lalu, jika mundur
kebelakang, ketaman Eden, juga akan tampak terang mengapa Adam jatuh
kedalam dosa. Tergiur oleh godaan kekuasaan untuk menjadi sama seperti
Allah, Hawa tak berpikir panjang untuk membuat sebuah pilihan. Pilihan
salah, sependapat dengan setan, untuk mencobai Tuhan yang mulai
diragukan sebagai menyimpan rahasia terhadap diri. Tuhan dipandang
sebagai tak patut untuk dipercaya sepenuhnya, Tuhan layak dicurigai.
Sikap tak beriman itu menguat muncul kepermukaan. Seharusnya Hawa
percaya sepenuhnya kepada TUHAN Allah, tak boleh meragukan Nya, apalagi
menghianati Nya. Namun atas nama kekuasaan, persamaan hak, bahkan
menyamai Allah sepenuhnya, Hawa meragukan Allah, tidak percaya dan tentu
saja menjadi tidak setia. Disisi lain, Adam setali tiga uang dengan
Hawa. Pura-pura tak tahu, tidak mau tahu, Adam memanfaatkan tawaran
Hawa. Seakan sekedar mengikuti tawaran Hawa, Adam sejatinya melepaskan
diri dari tanggungjawab sebagai pemimpin yang membuat keputusan. Adam
juga meragukan Allah. Tidak percaya, tidak setia, mendominasi
pemberontakan di taman Eden. Tidak beriman kepada TUHAN Allah, itu yang
terjadi, sehingga sukses pada pihak setan. Ya, beriman yang benar kepada
Tuhan adalah kemenangan sejati, sementara meragukan Nya adalah sebuah
dosa yang mengerikan. Kurang percaya, tidak beriman, dan, tentu saja
tidak setia kepada Allah, itulah tragedi taman Eden yang harus dibayar
mahal oleh Yesus Kristus. Manusia tak pernah mungkin untuk membayarnya.
Ketidak berimanan telah menjadi malapetaka yang tidak terselesaikan, dan
titik kehancuran kemanusiaan yang menjadi kerusakan tak terperbaiki.
Dari taman Eden, kita meluncur ke taman Getsemani. Peristiwa terbalik
akan segera tampak nyata, senyata mata memandang raga. Disana,
dipergumulan yang mencekam, dikesendirian karena yang lain terlalu sibuk
dengan keasyikan diri. Keringat bagai darah yang mengalir kencang,
padahal hawa malam terasa dingin, dan sangat menggoda tubuh untuk rebah
dan lelap. Disituasi itulah Yesus Kristus bergumul atas pilihan; setia
atau tidak setia, pada tugas yang diemban Nya. Diatas berbagai
argumentasi yang kuat, Yesus tak membuat pilihan yang menguntungkan
diri, melainkan sikap beriman sepenuhnya kepaqda Bapa disurga. DIA harus
menyelesaikan semuanya, sekalipun nyawa tak bersalah, tak berdosa, yang
menjadi taruhannya. Yesus setia, ekspresi iman yang luar biasa. Dalam
keberiman yang benar, dikembalikannya segala keputusan pada ketetapan
Allah Bapa. Iman yang benar membawa Yesus menyelesaikan semuanya diatas
kayu salib. Sudah selesai, itulah buah iman yang tampak nyata. Sebuah
pengorbanan yang mungkin, hanya karena iman yang benar. Taman Getsemani
adalah gema kemenangan, sementara Golgota, menjadi tempat pembuktian.
Tapi taman Eden menjadi bukti kegagalan, kehancuran, karena ketidak
berimanan. Iman yang benar bukanlah sebuah kemustahilan, bahkan
keharusan yang dimiliki umat yang percaya. Iman yang benar sudah
seharusnya mendominasi setiap pilihan dan tindakan orang percaya. Taman
Eden dan taman Getsemani adalah sebuah kontras dalam keberimanan.
Dikeseharian kehidupan dunia masa kini, yang semakin menggila dalam haus
kekuasaan dan kepuasaan yang tak bertepi, umat dituntut hati-hati.
Keberanian bersikap, tak gila kuasa, apalagi dahaga kepuasaan diri,
perlu diterapkan dalam disiplin yang tinggi. Kuasa masih tetap menggoda,
banyak orang terjebak disana, termasuk petinggi agama. Demi kursi
kekuasaan yang lebih empuk dan besar, kependetaan bahkan seringkali
dikorbankan. Arena politik kini jadi trend keterlibatan para pendeta,
dan batas batas pilihan etis semakin menipis. Sementara dari sisi
aktivis, uang dipakai jadi alat “menguasai gereja”. Siapa yang banyak
uangnya boleh banyak bicaranya, bahkan banyak mengatur gereja. Belum
lagi “nyanyian kepuasan diri” yang tak pernah usai. Kehidupan ala
selebritis terus semakin menjadi atas nama berkat Illahi. Masihkah akan
ditemui iman yang benar dimuka bumi ini? Sebuah tanya serius yang sangat
menggugat. Tapi satu yang pasti, iman yang benar pasti melahirkan buah
yang benar. Buah yang mungkin dan mudah dikenali, terukur dan teruji.
Kamu adalah garam dan terang dunia, itu kata Yesus. Semoga dipenghujung
jaman ini iman yang benar semakin muncul kepermukaan, mewarnai dunia.
Semangat taman Getsemani seharusnya subur dikehidupan umat. Semangat
untuk percaya dan setia pada perintah-perintah Allah. Sehingga sekalipun
tiupan godaan menerpa dengan keras umat tetap mampu bertahan. Namun
awas, jangan terjebak pada debat kusir yang miskin aksi. Tapi mari
beraksi dengan iman yang sehat. Jika kemiskinan tak kunjung menurun,
jika tangisan tak berkurang, jika iri hati meninggi, dan pertikaian
semakin nyata. Jika kegilaan pada kekuasaan tak terkendali, jika intan
permata jadi harga diri, jika kepongahan mewarnai hari-hari kehidupan,
bisakah dikatakan iman yang benar itu hidup, dan terus menggeliat?
Ahh……tampaknya umat harus selalu bercermin pada kenyataan, agar tak
sekedar berteriak kami beriman. Apalagi karena sekedar sebuah
kesembuhan, dan menempatkan diri sebagai agen Tuhan. Ingat Matius
7:21-23, melakukan kehendak Tuhan tak akan tertolak, melakukan mujijat
banyak yang tak diterima Tuhan Yesus, bahkan disebut penjahat. Semoga
anda dan saya tak dihardik karena beriman salah, tapi sebaliknya, kita
disanbut dalam kehangatn kasih surga karena beriman yang benar. Selamat
jujur menilai diri, selamat berani bercermin pada kebenaran Illahi. Anda
adalah pemenang karena beriman yang benar.
0 komentar:
Posting Komentar